Sabtu, 29 Maret 2014

Nostalgia di Gugusan Beranda Nusantara

Laut China Selatan, di utara bagian Barat Indonesia
 Pelabuhan Batuampar di Batam setelah pelepasan dari Makolanal, mengawali kisah perjalananku menuju lima gugusan pulau beranda nusantara di utara laut China Selatan, bagian Barat Indonesia.

Menumpangi kapal perang KRI Barakuda-633 milik TNI Angkatan Laut bangsaku, berbaur dengan prajurit dan rekan dari divisi Bank Indonesia, aku memulai petualangan jurnalistikku, membentuk nostalgia dari perjalananku itu sendiri.
KRI Barakuda 633 sesaat setelah sandar di Pelabuhan Siantan, Tarempa, Kepulauan Anambas. Kapal ini menjadi rumah sementaraku saat mengadakan misi di gugusan beranda nusantara ini.
 Kami berangkat, Selasa (19/11) pukul 17.00 WIB. Upacara pelepasan secara militer pun dilakukan mengawali misi ini. Lambaian tangan dari mereka yang di darat melepas kapal kami yang mulai bergerak membelah lautan.

Tujuan pertama, pulau Jemaja. Pulau ini merupakan kecamatan, bagian dari pemerintahan administratif kabupaten Anambas. Siapa yang tak tahu dengan pulau ini. Keeksotisan laut dan penghuninya yang menyatu dengan romantisnya perbukitan hijau menyapa.
Apel pagi bersama TNI AL sebelum perjalanan dan misi dimulai ke setiap pulau. f by Mas Jooks
Berlayar kurang dari 24 jam dari Batam menuju pulau ini, pagi hari, sekitar pukul 07.00 wib, usai apel, dari buritan kapal, kami bersiap turun. Kapal perang labuh jangkar di tengah laut, jadi kami melanjutkan perjalanan dengan menggunakan long tail boat atau pompong kayu kata penduduk sini. Seperti evakuasi Red Devils di sungai Arnhem saat perang dunia kedua dalam serial militer Band of Brothers, kami turun dibantu para prajurit AL.
Pulau Jemaja. F by Chaycya
Sekitar 20 menit berlayar dengan pompong menuju Jemaja, rasa kagum lepas dari ucapan. "gila, air lautnya bening banget,". Jernih, toska bening memanjakan mata melihat langsung bagian dalam laut dengan aneka karang, ikan dan penghuninya ditambah sedikit seliweran sampah plastik. Daratan tiba, melompati dua kapal nelayan besar, kami tiba di pelabuhan dan langsung menuju Pangkalan TNI AL Kepulauan Anambas, posal Jemaja, sekitar 50 meter dari pelabuhan.
Berpose sejenak
 Hanya sebentar di pulau ini. Enam jam menyelesaikan misi. Tapi bukan Chaya namanya kalau tak sempat menikmati romansa pulau ini. Memanfaatkan waktu luang, aku meringankan langkahku menyusuri kecamatan kecil ini. Pulau dengan kelapa, rumah panggung warga dengan bara air laut bening di bawah, bercengkerama dengan pedagang pasar pagi. " dagangannya layu semua. Ya gimana, ini pulau. Pasokan terbatas, apalagi sebentar lagi musim angin utara," ujar Deni, pedagang sayur di pasar pagi pulau Jemaja ini. Pernyataannya yang datar membuatku trenyuh.
Deni si Pedagang sayur di pasar pagi. Entah apa di pikiran menerawangnya. f by Chaycya
 Menyusuri pelantar milik warga, menikmati pulau saling terpaut di kejauhan, bercengkerama sekilas dengan anak kecil yang bermain sepeda, hingga mengabadikan momen seorang pemuda sedang menjemur tiga baterai ABC dan baterai ponsel nokia miliknya. "Jatuh ke laut, mati. Jadi dijemur dulu," ujar pemuda ini yang kusambut dengan jawaban sambil senyum "oh ya?".

Dari pelantar, aku masuk lebih dalam lagi menuju desa. Melewati rumah toko kelontong milik warga, tanah lapang kecil di pinggir jalan, berbelok ke kiri. Dari jalan raya, mataku dimanjakan perbukitan hijau dengan rayuan pohon kelapa dan aneka tumbuhan hijau yang menyegarkan dua kelopak ini. Berat rasanya tak mengelilingi pulau ini, tapi apa daya, aku harus melanjutkan perjalananku menuju pulau Siantan, ibu kota Kepulauan Anambas, sekitar 7 jam perjalanan dari pulau Jemaja yang indah ini.

"Chahaya Gimana harimu? Sudah muntah? Ga mual?Waah hebat," sapa Mayor (laut) Yuyus Wahyudin, perwira pendamping dari Pangkalan TNI pusat sambil menepuk pundakku.

 Benar saja, disaat sebagian rekan-rekanku yang lain sudah bertumbangan karena mabuk laut, muntah beberapa kali. Puji Tuhan, aku mual tapi tak sampai muntah dalam perjalanan hari ketiga misi ini. Mengisi waktu di kapal, kalau tidak mendengar musik di kamar, aku akan membaur dengan para karib di ruang medis kapal yang berubah menjadi ruang makan dan ruang karaoke, atau membaca buku di helipad sambil menikmati semilir angin laut lepas atau kegiatan 'gila' lainnya.
 
Penari Balet yang tertunda. Helipad kapal pun menjadi wahana tempat beraksi. foto2 by Mas Jooks
Jump kurang maksimal
Bercanda dengan karib Pak Agus dari Bank Indonesia
Perjalanan menuju Pulau Siantan di Tarempa, menerima ajakan Letnan Dua Agus Yordan mengunjungi ruang navigasi. aku pun menghabiskan beberapa jam waktuku di ruang navigasi kapal ini. Mengenal lebih dekat titik koordinat laju kemudi oleh Sersan Joko, menghitung skala jarak dan membaca peta bersama Sersan Andri, mempelajari dengan pengamatan mengenai isyarat bunyi, menghitung jarak laut dengan nautical miles hingga berbincang perjalanan dan tugas marinir dengan Kapten Lexy Dumais. Perjalanan itu berguna saat kau mampu mendapat ilmu pengetahuan dari keberadaan proses dari perjalanan itu sendiri. Itulah adanya aku dalam misi ini.
Menuju Pulau Siantan di Tarempa, pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Anambas. Dari ruang navigasi, foto ini aku abadikan
 Pukul 21.00 wib, kami pun tiba di pulau Siantan, Tarempa. Pusat pemerintahan dan perkantoran Kepulauan Anambas ada di pulau ini. Kali ini, lego jangkar langsung di pelabuhan, merapat ke dermaga. Kondisi geografisnya hampir sama dengan Jemaja. Hanya saja, disini, jumlah penduduk lebih ramai, pusat perekonomiannya ada di tepi laut. Sejumlah anak-anak tampak asyik bermain badminton menggunakan bola pimpong.
Dermaga Teluk Siantan di Tarempa. hijau bersih air lautnya membuat teduh. f by Mas Jooks
 Oh ya, di pusat pemerintahan dan ekonomi kepulauan Anambas di Tarempa ini, kendaraan roda empat, bisa dihitung tangan, bahkan tidak dijumpai angkot sebagai sarana transportasi publik. Mengatasinya, masing-masing warga punya motor. Beginilah kehidupan di surga diving terkeren di nusa Indonesia di bagian utara, Indonesia Barat yang berhadapan langsung dengan Thailand di selatan ini.
Pusat bisnis Kepulauan Anambas di Siantan. f by Chaycya

Pos AL di Tarempa. Tugu Gerbang JALESVEVA JAYAMAHE (Di laut dan di darat kita jaya) menyambut selamat datang dari laut.
SISI LAIN TENTARA BANGSAKU: Rekan prajurit di kapal. Gagah dengan dinas loreng, tapii?? headsetnya ga tahannn, Sanrio kurukiriru yang melankolis lucu..haha. f by Chaycya
Habis misi dari Anambas, kembali melanjutkan perjalanan ke Pulau Laut. Yep, pulau paling ujung, beranda paling depan Indonesia di Bagian barat, mengambang di laut China Selatan. "Butuh semalam kesana. Jangan sampaikan ke bawah, ombak agak besar. Apalagi ini musim angin utara dan pulau Laut itu paling luar. Mudah-mudahan lancar. Kalau ini sudah dilewati, udah, kita berhasil," ujar Kapten Lexy dengan tawa ringan.
Apel prajurit dipimpin Sersan Ryon. f Chahcya

Menuju Pulau Laut. f by Mas Jooks
 Hari ketiga, Jumat (22/11) pukul 7.00 wib. Tak sempat sarapan pagi, telat apel pagi karena antrian mandi yang agak sibuk di kapal. Dari tengah laut, kembali menggunakan kapal motor, menuju pulau Laut. Heeeeeeeaaaaaavennnnnnn!!! Air laut biru pekat, makin toska, hijau muda makin bening, sementara diujung sana, garis putih pantai, pelantar panjang dan nyiur melambai dibingkai perbukitan. God..!! Bantu kami menjaga negeri yang indah iniiii.. Ungkapan dari buku 5CM inilah kuucapkan dalam hatiku. Untuk kedua kalinya aku mengucapkannya setelah di Pulau Sambu kecil yang tak kalah indah.

Sesampai di dermaga Pelantar, kembali memuji kebesaran Yang Maha Kuasa. Menemukan kulit kertang ( seperti kerang mutiara) yang sangat besar. Hitungannya, bisa muat 2 bayi baru lahir. Kembarrr.. Hahaha.
Menuju desa, menggunakan sepeda motor sekitar 20 menit, hiburan nyiur melambai, laut lepas sejauh mata memandang dan burung bangau serta sapi yang merumput dan mencari makan bareng di pinggir jalan. Harmoni alam pagi itu membuatku terharu bahagia. Indahnya, kayanya negeriku ini Tuhan. Lihat saja, kelapa berjatuhan tak tersentuh, hasil laut segar yang sedap dan nikmat, serta warga pulau yang ramah. Meski agak sulit mencerna dialek Melayu mereka yang sudah berkiblat pada lingua dialektikal Vietnam di utara, tapi aku mencoba memahami dan banyak dari mereka juga yang masih mampu berbahasa Indonesia.
Pulau Laut
Segarnya air kelapa muda langsung dari pohonnya
Pulau Laut, masuk ke pemerintahan administratif Kabupaten Kepulauan Natuna. Pulau ini kecamatan, tapi tak punya kelurahan, hanya 3 desa. Puas menikmati kelapa segar di desa, kami pun kembali ke kapal dan melanjutkan perjalanan ke ibukota Natuna, Ranai.

Karena misi dengan jadwal padat, aku hanya bisa menikmati dengan puas Kawasan Selat Lampa dan juga pulau Sebang Mawang, pos AL di jajaran Pulau Tiga, sementara Ranai? Ah masih sama dengan kunjunganku ke kawasan ini November 2010 lalu. Tak banyak yang berubah dari kepulauan yang berbatasan langsung dengan Vietnam ini.

Di Teluk Lampa, menikmati pulau yang dingin saat kapal sandar, demikian juga di Pulau Sebang Mawang, dimana kita bisa melihat langsung aneka jenis ikan laut berseliweran dengan mata telanjang. "Ah itu sudah tak heran. Sudah biasa," ujar seorang bapak pemancing diujung dermaga saat aku mengagumi kekayaan mahluk laut di kawasan ini.

Petualangan puncak pun dimulai. Menyapa langsung lebih dekat beranda nusantara ini. Batal melihat penangkaran penyu AL di air terjun Sebang Mawang, oleh saran Kapten Lexi, bersama rekan, menggunakan sekoci, kami menuju pulau Penyu. Pulau tak berpenghuni, yang oleh AL diberi nama penyu karena saat dilihat dari udara, bentuknya seperti penyu.

"Ntar, klo mau buang air kecil, jangan di ujung daratannya yak. Pamali kalau kata orang sini," ujar Letnan Yordan yang turut mendampingi kami.

Bersama sersan Benny, one of master chef di kapal. Bertugas membawa sekoci, dia mengantarkan kami memulai petualangan ini. Naluri pejalanku langsung tinggi. Saat turun dari kapal, merasakan langsung air laut bening dengan choral di bawahnya, berjalan menuju daratan pantai putih dengan banyak kulit kerang aneka warna. "Unguuu" aku langsung membungkuk mengambil kerang sempoyong tulip berwarna putih ungu. Ada juga kulit kerang putih bersih dan batu karang.. Yippiyeii.. Choral stone.. Its my inspiration from long ago 'till now on.

Puas menikmati pantai, ikut membaur bersama karib baru kenal dari bank indonesia. Berenang dan lomba berenang bareng, lalu dilanjutkan dengan mengelilingi pulau. "Ini belum seberapa, disana masih banyak yang bagus. Yuk keliling saja," ujar Yordan.

"Naik sekoci saja," ujar Palaksa.

"Untuk Mengenal kawasan dan mengetahuinya, kamu harus menginjakkan kakimu di kawasan itu". Itulah yang aku yakini dari ruh perjalanan. Dan ya, aku pun turut dalam perjalanan mengelilingi pulau. Aneka batu besar dengan kerang laut yang menempel membuat kaki sakit, tak kuhiraukan, toh aku pake sendal.

Membaur bersama teman-teman. Bercengkerama dan foto bersama, mengagumi setiap spot, dan tiba-tiba.. Tshyaaaap, sandalku putus. Melompati batu dengan kaki ayam. Tak masalah menurutku, tapi harus hati-hati.

Yordan berbaik hati meminjamkan sandalnya, dan kami pun memotong rute keliling dari tengah pulau, bukan lagi dari tebing batu yang sudah duluan dilalui para teman.

Sebelum pulang, memanfaatkan foto bersama oleh mas Joko, fotografer dari Lembaga Kantor Berita Nasional negeri ini, ANTARA.

Tak berhenti di pulau ini saja. Misi terakhir kali ini, kami menuju Pulau Subi Besar. Pulau yang secara wilayahnya masih masuk ke bagian Provinsi Kepri ini, tapi secara letak geografis, lebih dekat ke Kalimantan, Pontianak di Kalimantan Barat tepatnya.

Menuju pulau ini, agak memacu adrenalin. Angin kencang dan ombak besar pagi itu membuatku takut dan gugup melompat ke kapal kayu. Demikian juga pulangnya. Hujan deras dan ombak tak lebih dari empat meter seperti kata juru kemudinya, membuatku berseru "God!! Help us", sementara yang lainnya tampak anteng atau dianteng-antengin.

Di pulau minus sarana dan prasarana ini, aku sempat mencicipi kuliner mie sop bakso ikan khas pulau. Hmmmm, kuahnya lumayan, baksonya enggak.

Misi atau perjalanan tugas ke lima pulau terluar di bawah naungan Koarmabar TNI AL bangsaku ini,  layak dikenang, menjadi  nostalgia, buah perjalananku, pengalamanku dalam menjelajah kawasan baru. Beranda terluar nusantaraku, ibarat perempuan remaja yang manis, masih butuh polesan sedikit dari pemerintah untul membuat anggun dan dikenal dunia.

Indonesiaku, kekayaan bahari dan keindahan maritimmu membuatku semakin cinta. Cinta tanah airku, cinta keindahannya. Meski banyak kawasan di luar negara yang sudah kukunjungi, tapi disini, hatiku lepas, di Indonesia hatiku tertambat. Anugerah bagiku, aku dilahirkan di bumi pertiwi nan indah permai ini.

Perjalananku pun berakhir di bumi kathulistiwa, Pontianak. Menikmati kuliner khas Tionghoa, berburu oleh-oleh di PSP dan mengunjungi tugi khatulistiwa di Siantan, menutup perjalananku kali ini, sebelum esok harinya, pukul 11.00 pesawat dari Bandara Supadio membawaku kembali pulang, ke tanah harapan dan berkat saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar